slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
Sepercik Perjalanan Bermusik Didi Kempot

Bicaramusik.id

Banner 728 X 90
Sepercik Perjalanan Bermusik Didi Kempot
  • By : Bicara Musik
  • 2020-05-06

Sepercik Perjalanan Bermusik Didi Kempot

Bicaramusik.id - Selamat jalan Lord Pakdhe Dionisius “Didi Kempot” Prasetyo, Raja Campursari, Bon Jovi from Java, The Godfather of Broken Heart. Dengan gelar hampir serupa pemimpin Westeros macam itu, Didi pasti punya pencapaian tersendiri selagi hidup. Didi Kempot, lahir di Suratakarta, 31 Desember 53 tahun lalu, baru saja meninggal dunia pada Selasa (5/5) lalu di Solo. Ia merupakan putra dari seniman Mbah Ranto Edi Gudel dan penyanyi keroncong antarkampung, Hj. Umiyati. Latar belakang tersebut membuat darah seniman mengalir di keluarganya. Selain Didi yang akhirnya menjadi musisi kenamaan, almarhum kakaknya, Mamiek Prakoso, juga merupakan pelawak senior Srimulat. Selain menjadi ayah, Mbah Ranto menjadi orang yang sangat berpengaruh pada kehidupan bermusik Didi ke depannya.  Didi tidak tamat pendidikan formal namun pelajaran yang didapat dari guru sekaligus ayahnya ditambah orang-orang yang ia temui selama hidup membuat namanya bisa dikenal seperti sekarang, bahkan setelah ia telah berpulang. "Beliau ngomong 'karena aku ingin dagelan, jadi aku enggak sekolah tinggi-tinggi. Sekolah saya ya praktek dari panggung ke panggung'. Akhirnya terbawa ke saya dan Mas Mamiek," kata Didi dalam sebuah wawancara bersama CNNIndonesia.com. Ia pun belajar bermain gitar dengan cara otodidak dan memulai kariernya di jalanan. Ia mengamen bersama beberapa temannya, seperti Dani Pelo, Comet, Rian Penthul, Heri Gempil dan Mamat Kuncung di kawasan Keprabon, Solo sejak 1984. Lalu, mereka pun hijrah ke Jakarta sekitar tiga tahun kemudian. Dari sini lah nama “Kempot” lahir. Bersama teman-teman ngamennya tadi, Didi membuat sebuah komunitas yang disebut Kelompok Penyanyi Trotoar –disingkat Kempot. “Kumpul di Bunderan Slipi dulu, di situ lah kita bikin komunitas, Kelompok Penyanyi Trotoar,” jelas Didi tentang nama belakangnya saat menghadiri Ngobam milik Gofar Hilman. “(Isinya) teman-teman dari sini. Ada almarhum Dani Pelo, ada lima orang, ada almarhum Kuncung yang sudah meninggal dulu.” Nama tersebut juga ia pilih karena mudah diingat dan mungkin akan membawa keberuntungan. Didi berkaca pada Doel Soembang, Iwan Fals, dan Gombloh yang lebih dulu terkenal. Nama tersebut ia pakai hingga rekaman pertama kali bersama label besar, Musica Studios. Pada akhir “80-an, Didi merekam album perdananya bersama label tersebut. Salah satu tembang andalannya hingga kini, “Cidro”, merupakan bagian dari album tersebut. Ia mengakui bahwa album awal tersebut tidak begitu meledak, namun “Cidro” berhasil membesarkan namanya ke kancah internasional. https://youtu.be/0ADwyqBL5ds "Saya nyanyi ada satu lagu Jawa judulnya ‘Cidro’. Di Indonesia kurang terkenal, ternyata ada turis Suriname di Indonesia, domisili di Belanda, lagu itu lalu diputar di radio Amsterdam, lagunya digemari sekali," kata Didi melansir Tirto.id. Namanya memang berhasil menembus Eropa, khususnya di Belanda, dan salah satu negara di Amerika Selatan yang punya penduduk keturunan Jawa, Suriname. Selain itu, ia juga seringkali menghibur TKI di negara-negara seperti Hongkong dan Taiwan. Bicara soal Didi Kempot tidak bisa lepas dari campursari. Hampir semua dari ratusan tembang yang ia ciptakan, termasuk beberapa andalannya “Stasiun Balapan”, “Layang Kangen”, “Ambyar”, dan “Pamer Bojo”, dibawakan dengan Bahasa Jawa. Karena itu, beberapa kalangan menyebutnya Raja Campursari. Dalam wawancara bersama Gofar Hilman sebelumnya, ia mengaku tak pernah melabeli dirinya dengan genre tersebut walaupun “sangat setuju” jika musiknya dikatakan campursari dengan alasan “menghormati pendahulunya”. https://youtu.be/20_CyA4CCTs Campursari sendiri merupakan hasil campuran dari langgam keroncong dan gamelan. Joko Wiyoso, dalam artikelnya “Jejak Campursari”, mengatakan bahwa musik semacam ini diperkenalkan pertama kali oleh R.M Samsi yang tergabung dalam kelompok Campursari RRI Semarang sekitar awal “50-an. Namun, campursari mengalami masa-masa emas pada akhir “90-an hingga awal 2000-an ditandai dengan majunya Campursari Gunung Kidul Maju Lancar pimpinan Manthous, yang disebut Didi sebagai salah satu pendahulunya. Dalam artikel lain yang berjudul “Campursari: Suatu Bentuk Akulturasi Budaya dalam Musik”, Joko juga menjelaskan, jika dilihat dari alat yang dimainkan, campursari sebagai produk akulturasi budaya terdiri dari instrumen diatonis (yang terdiri dari keyboard, drum, gitar elektrik, dan bas) dan instrumen gamelan (yang di antaranya gender barung, kendang ciblon, saron barung, demung, siter, dan gong ageng). Itu lah yang menjadi ciri khas Mathous. Ia terkenal karena berhasil memasukkan keyboard dalam orkestrasi gamelan. Namun, istilah yang digunakan oleh Joko nampaknya kurang tepat. Tangga nada (laras atau scale) yang umum digunakan dalam gamelan ada dua, slendro dan pelog. Pelog juga menggunakan tujuh nada dan dengan begitu bisa dinyatakan diatonis. Perbedaan dari kedua unsur yang disebutkan joko sebenarnya ada pada jarak antar nada. Unsur pertama (yang terdiri dari keyboard, drum, gitar elektrik, dan bas) merupakan alat musik yang menggunakan tangga nada barat dengan maksimal 12 nada peroktaf dan berjarak minimal setengah nada. Sedangkan, gamelan (dan banyak alat musik tradisional lainnya) bisa menghasilkan jarak yang lebih kecil dari setengah nada, atau bisa disebut mikrotonal. Penjelasan tadi membuat pengakuan Didi yang tidak pernah melabeli dirinya dengan campursari menjadi wajar. Jika melihat set live-nya (khususnya akhir-akhir ini), alat tradisional yang ia bawa hanya di sisi ritmis, nada lebih banyak diatur biola, keyboard, bas, dan gitar. Ketidak hadiran gamelan di sana, membuat musik Didi terasa lebih “pop”. Penghasil nada mikrotonal paling mungkin adalah suaranya sendiri, berbeda dengan musik Maju Lancar yang lebih kental sisi Jawanya dari segi nada. Mungkin, musik Didi yang juga sering disebut congdut (keroncong dandut) merupakan new wave­-nya campursari zaman Mathous. “Saya penyanyi lagu Jawa. Cuma kita bikin lagunya lebih, pengin supaya bagaimana anak muda mau mendengarkan lagu-lagu Jawa,” aku Didi. “Bahasanya dibikin sangat mudah sekali diterima. Ceritanya enggak jauh dari kehidupan teman-teman ini semuanya.” Tujuan tersebut berhasil tercapai sampai sekarang. Penggemarnya dari generasi sebelumnya, Kempoters,  tiba-tiba tergantikan oleh Sobat Ambya yang terdiri dari Sad Boys dan Sad Girls dari kalangan muda-mudi masa kini. Wawancaranya bersama Gofar yang notabene seorang tokoh di golongan muda makin melonjakkan namanya. Dari sana juga ia mendapatkan kesempatan untuk bermain di perayaan terasyik musik Tanah Air (tentunya untuk golongan tadi), Synchronize Fest di tahun 2019. Di akhir hayatnya, Didi Kempot meninggalkan bermacam pencapaian. Ia beberapa kali mendapat penghargaan AMI dan beberapa waktu lalu mendapatkan Lifetime Achievement Awards Billboard Indonesia Music Awards 2020. Selain itu, berita dukanya juga dilansir oleh beberapa media internasional. Lagu terakhir yang ia ciptakan adalah “Ojo Mudik” yang dirilis akhir April lalu. Lagu tersebut ditujukan untuk mendukung gerakan di rumah saja selama pandemi Corona. https://youtu.be/P1E1IczI2Yw        
Banner 300x600

RELATED BERITA

RELATED BERITA